Nov 4, 2011

DOA YANG SELALU DIKABULKAN

Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN

Sunan Gunung Djati, Bandung.  Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil

menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal.


Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru

saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah.

Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab

putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas

dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta

sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin

saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih.


Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia

karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran Mimin

tiba. Semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya. Kata-kata

yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya luas,

pengamatannya akurat.



Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin

berkata dengan nada datar. "Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur

hidup saya."


Ia tersenyum. "Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak

orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya

telah memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain melihat

saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah," Ia terdiam sesaat

dan kembali tersenyum. "Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu

saja."



Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya

kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman

pria dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat kuliahnya itu-senantiasa

bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua

atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam mata kuliah yang

diikutinya. "Di antara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya, ada

yang memapah, ada juga yang menunggu di atas," kenangnya.



Dan civitas academica yang lain? Menurut Mimin ia sering mendengar orang

menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya. "Mereka berkata: Ya Allah, bisa

juga ya dia kuliah," senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka

menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah,

keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah

memang Maha Besar. Begitu kata mereka."


Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak

pernah ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita tahu,

terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang

cacat seperti saya. Ya tawakal saja."



Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh,

mapan dan normal melamarnya. "Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak

orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa, ya.

Maha adil! Masya Allah, Alhamdulillah, dan sebagainya," ujarnya penuh

syukur. Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata

mengembun.


"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu saya, bahkan orang yang tak

men-genal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah.

Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke bidan,

melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimana pun saat seorang ibu melahirkan

otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa

tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua akan menjadi mudah.

Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Mimin memerah

kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akbar,

Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang."

 Hening. Ia terdiam agak lama.

Mata saya basah, menyelami batin Mimin. Tiba-tiba saya merasa syukur saya

teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap

seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa.  Yang selama ini telah saya

lakukan bukanlah apa-apa.



Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk

sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya, saya

menahan airmata di atas podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat

memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?



Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan saya

masih kabur. Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur ke  pelukannya.

Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak tangan kanannya

berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya eperti melihat anak saya,

yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa banyak

kenikmatan yang Kau berikan padaku.



Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa

dia men-cintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh

rongga jiwa saya. "Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi, yang telah

memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah

persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin."



Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya pada

Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

 ------------------------(Helvy Tiana Rosa)
("Pelangi Nurani": Penerbit Asy Syaamil, 2002)

No comments:

Post a Comment